Inilah kriteria sang Pemimpin sejati ! ... yang sulit dicari dimasa kini , . . . . sangatlah langkah?
Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang penduduk, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar suara lirih cericit burung. Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.
"Nak, apa yang berada di tangan mu itu?". Wajah si kecil mendongak, hanya sekilas dan menjawab.
"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung" polosnya ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan "Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya"
"Bolehkah aku membelinya, nak?, karena aku sangat ingin memilikinya" suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata "Baiklah paman" dan ia segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.
Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah*terbanglah*".
Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung mu itu?, tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan burung itu ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak............... beliau adalah seorang pemimpin yang berani dan tegas dalam menegakan kebenaran"
***
Malam-malam di kota Madinah, suatu hari.
Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Tak ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia bertekad malam ini untuk berpatroli lagi.
Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja pencipta. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita.
"Assalamu'alaikum wahai fulan" ia menegur lelaki ini dengan santun. "Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini sendirian" tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan melahirkan. Lelaki itu bingung karena di sana tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.
Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru.
"Ummi Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malam ini" Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmah hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan.
Ummi Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar, suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium tanah dan kemudian menghampirinya sambil berkata "Siapakah engkau, yang begitu mulia menolong kami?". Ia tidak perlu memberikan jawaban karena suara Ummi Kulsum saat itu memenuhi lengang udara.
"Wahai Amirul Mukminin, ucapkan selamat kepada tuan rumah, telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah"
***
Sahabat, betapa terpesona, mengenang kisah indah khalifah Umar bin Khathab. Ia adalah seorang pemimpin negara, tapi sejarah mengabadikan kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia adalah orang nomor satu tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang meski kepada seekor burung. Ia sanggup berlari tanpa henti demi menolong sebuah keluarga. Dan ia melakukannya sendiri.
Sahabat, tanggal 5 juli nanti, kita akan memilih seorang pemimpin. Mudah-mudahan pasangan capres dan cawapres yang kita pilih mau bercermin dari kisah indah sang khalifah. Mudah-mudahan kita tak sembarang menentukan pilihan. Mudah-mudahan bangsa ini dipimpin oleh seorang yang amanah, yang menjadikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Mudah-mudahan kita tidak tertipu dengan janji-janji para capres dan cawapres yang sedang marak ditayangkan di televisi. Mudah-mudahan pemimpin kita kelak adalah ia yang akhlaknya tinggi. Amin.
Berkat Tauge
8 years ago
0 comments:
Post a Comment
Silahkan comment di sini ya...